11 Maret 2013, mungkin hari yang biasa bagi orang lain,
tapi tidak demikian bagi kami anak-anak jurusan Ilmu Perpustakaan. Jurusan Ilmu
Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga mengadakan sebuah kuliah umum yang bisa
dibilang megah. Tidak tanggung-tanggung, kuliah umum pagi itu mendatangkan 3
narasumber sekaligus, Ibu Afia Rosdiana, Mbak Ratih Rahmawati, dan yang
terakhir adalah bapak “Suhu” dunia perpustakaan, Bapak Blasius Sudarsono. Kuliah
umum pagi itu membahas sebuah buku yang berjudul “Perpustakaan Untuk Rakyat”.
Buku tersebut ditulis oleh Bapak Blasius dan Mbak Ratih yang sekaligus
narasumber pada pagi itu. Buku tersebut diadaptasi dari buku Sri Sultan HB IX yang
berjudul “Tahta untuk Rakyat”.
Pembicara
yang mendapatkan kesempatan pertama untuk berbicara adalah Ibu Afia. Beliau
membeberkan bagaimana beliau bisa berkecimpung di dunia perpustakaan. Sejak
kecil beliau memang sudah senang jika berada di perpustakaan. Sewaktu kecil
keluarga Bu Afia tinggal di Sabah. Di sana terdapat perpustakaan kota yang
fasilitas dan pelayanannya sudah maju. Setiap akhir minggu Bu Afia diajak ke
perpustakaan. Tujuannya bukan untuk membaca, melainkan menumbuhkan rasa senang
ketika di perpustakaan. Di perpustakaan juga Bu Afia diajarkan berbagai macam
hal, salah satunya adalah membatik.
Ketika SMP, keluarga Bu Afia kembali ke Indonesia. Betapa kagetnya
beliau ketika berada di Indonesia, suasananya sangat beda dengan tempat
tinggalnya yang dulu. Perpustakaan tidak sebaik yang beliau bayangkan. Karena
hal itulah jiwa Bu Afia tergugah untuk memajukan perpustakaan walaupun pada
dasarnya Bu Afia bukanlah pustakawan, karena menurut beliau “pustakawan bukan
pekerjaannya, pustakawan itu adalah jiwanya”. Kini Bu Afia menjabat sebagai
kepala perpustakaan kota di Jogjakarta. Selain bercerita tentang latar
belakangnya, beliau juga membahas tentang TBM dan Perpustakaan Masyarakat.
Beliau berpendapat keduannya sama-sama ramai, hanya beda badan yang
menauinginnya. Tujuannya pun sama, keduanya sama-sama ingin mengembangkan
literasi.
Pembicara yang kedua adalah Mbak
Ratih. Tidak banya yang disampaikan, hanya mengulas masalah kolaborasi lintas
usia :D. Maksudnya, generasi yang masih muda (Mbak Ratih) yang berkolaborasi
dengan Pak Blasius yang sudah memiliki pengalaman dan jam terbang tinggi. Selain
itu, Mbak Ratih juga melakukan observasi ke beberapa perpustakaan yang ada di
Jogjakarta dan Sleman. Semua perpustakaan menurutnya sama, yang membedakan
adalah mengenai kebijakan dari masing-masing perpustakaannya saja.
Pembicara
yang terakhir adalah Pak Blasius, dan inilah yang paling ditunggu-tunggu. Tidak
diragukan lagi track record Pak
Blasius dalam dunia perpustakaan. Buku yang ditulisnya pun juga banyak. Beliau
pun dulunya juga tidak kuliah di jurusan Perpustakaan sama seperti Bu Afia.
Namun sekali lagi ditegaskan bahwa “pustakawan adalah jiwa”. Beliau mulai
senang menulis ketika masih menjadi dosen. Beliau menghasilkan banyak sekali
tulisan dan buku. Walaupun begitu, beliau tetap merasa kesulitan jika
berkolaborasi seperti saat menulis buku Perpustakaan Untuk Rakyat bersama Mbak
Ratih. Buku ini membahas tentang percakapan seorang anak dengan bapaknya. Percakapan
tersebut sudah tentu membahas tentang dunia perpustakaan. Selain itu, Pak
Blasius juga banyak bercerita tentang buku tersebut dan bagaimana pandangan
beliau mengenai perpustakaan sekaligus pustakawannya. Menurut beliau,
pustakawan disejajarkan dengan budayawan. Mengapa demikian? Menurut Pak Blasius
keduanya adalah orang yang sama-sama berpengetahuan. Tidak mungkin jika seorang
budayawan adalah orang yang tidak tahu apa-apa, begitu juga dengan pustakawan.
Pustakawan sudah tentu adalah orang yang mempunyai pandangan luas. Jika
pandangan mereka hanya terpaku pada satu arah, bagaimana cara mereka memberi
pelayanan kepada orang lain? Selain itu, menurut beliau perpustakaan
diibaratkan seperti supermarket. Pengunjung bisa memilih sendiri informasi apa
yang mereka butuhkan, sama seperti orang yang berbelanja kebutuhan di
supermarket. Disinilah fungsi pustakawan terlihat, pengunjung bisa meminta
tolong ketika mereka mendapatkan kesulitan mencari informasi apa yang dicari.
Tinggal kita bandingkan saja jika di supermarket pengunjung akan meminta
bantuan kepada pelayan untuk mencarikan barang yang diinginkan. Beliau juga
mempunyai pendapat bahwa kepustakawan terbagi menjadi 4, panggilan hidup,
semangat hidup, karya pelayanan, dan dilaksanakan dengan profesional. Setiap
pustakawan harus memiliki 4 aspek tersebut agar bisa menjadi pustakawan yang
baik. Selain itu beliau juga berpendapat bahwa ada 5 kompetensi yang harus dimiliki pustakawan,
berpikir kritis, membaca (dalam arti luas), menulis, kemampuan enterprener, dan
etika. Ketika pustakawan memiliki kompetensi-kompetensi tersebut, dia akan
merasa bahwa dirinya memang layak disebut pustakawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar